Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dalam Islam Aqdiyah adalah segala sesuatu yang mengatur
tentang Hukum-hukum Pengadilan. Yang dimaksud dengan Hukum disini adalah
memisahkan atau mendamaikan dua pihak yang hberselisih yaitu dengan Hukum Allah
SWT. Firman Allah :
“Wa Anihkum bainahum bimaa anzalallah”
Artinya :“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah”. (Al-Maidah 49)
“Wa Idzaa hakamtum bainannaasi
an tahkumuu bil’adli”
Artinya : “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (An-Nisa :58)
Sabda Rasulullah SAW :
“Hakim-hakim itu ada tiga
golongan, satu golongan akan masuk surge, dua golongan akan masuk neraka:
(1) Hakim yang
masuk surga ialah hakim yang mengetahui hak (hukum yang sebenarnya menurut hukum
Allah), dan ia menghukum dengan yang hak itu.
(2) Hakim yang mengetahui hak,
tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak. Hakim ini akan masuk neraka.
(3)
Hakim yang menghukum, sedangkan ia tidak mengetahui hokum Allah dalam perkara
itu. Hakim ini juga akan masuk neraka.” (Riwayat Abu Dawud dan lainnya)
Kedudukan Hakim adalah suatu kedudukan yang mulia dan
tinggi. Oleh karena itu Hakim hendaklah
mempunyai budi pekerti yang sebaik-baiknya. Di antaranya budi pekerti yang baik
ialah :
1.
Hendaklah ia berkantor ditengah-tengah negeri,
ditempat yang diketahui oleh segenap lapisan rakyat diwilayahnya.
2.
Hendaklah ia menyamakan antara orang-orang yang
berperkara dan tidak, baik tempatnya, cara berbicara pada mereka, maupun
perkataan, juga termasuk
menyamakan segala cara kehormatan. Mengenai
persamaan ini sebagian ulama mengatakan wajib, sebagaimana yang ditasihkan
dalam mazhab Syafi’i.
3.
Hendaklah ia jangan memutuskan suatu hukum
selama dia dalam keadaan sedang marah, sedang sangat lapar atau haus, sedang
sangat susah atau sangat gembira, dan sedang dalam keadaan sakit.
Sabda Rasulullah SAW.
“Janganlah seseorang memutuskan hukum
diantara dua orang (yang bersengketa), sedang ia dalam keadaan marah (emosi)”.
(Riwayat Jama’ah ahli Hadits)
Dengan hadits tersebut ulama mengambil
ukuran bahwa hakim hendaklah jangan memutuskan suatu persengketaan apabila
terjadi sesuatu pada dirinya yang membimbangkan pikirannya, karena
dikhawatirkan akan mengakibatkan kurang adil.
4.
Dia tidak boleh menerima pemberian dari
rakyatnya kecuali orang yang memang biasa memberikan hadiah kepadanya sebelum
ia menjadi hakim, dan diwaktu itu tidak dalam perkara. Larangan ini untuk
menutup pintu suap.
Sabda Rasulullah SAW :
“Allah mengutuk orang yang menyogok
(menyuap) dan orang yang disuapnya dalam hokum”. (Riwayat Ahmad, Abu
Dawud dan Tirmizi)
5.
Apabila telah duduk dua orang yang berperkara,
Hakim berhak menyuruh yang mendakwa untuk menerangkan dakwaannya. Sesudah itu
hendaklah Hakim menyuruh pula yang terdakwa untuk membela dirinya. Tidak boleh
bertanya kepada terdakwa sebelum selesai pendakwaan yang mendakwa, juga tidak
boleh bagi Hakim menyumpah yang terdakwa selain sesudah diminta oleh yang
mendakwa apabila ia tidak dapat mengajuka saksi.
6.
Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan
membela kepada keduanya.
7.
Surat-surat Hakim kepada Hakim yang lain di luar
wilayahnya, apabila surat itu berisi hukum, hendaklah dipersaksikan kepada dua
orang saksi sehingga keduanya mengetahui isi surat itu.
Semoga ada manfaatnya, khususnya
bagi Hakim-hakim di Negeri ini untuk selalu ADIL dalam menjalankan fungsinya
sebagai pengadil.
Fastabiqul Khairat.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Sumber : Fiqh Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar