PADA 1912, kekuatan umat Islam di Surakarta dan Yogyakarta sudah dipatahkan penjajah.
Keduanya telah dikelilingi pusat-pusat pendidikan Kristenisasi dari Ungaran, Salatiga,
Boyolali, Kebumen, dan Magelang sebagai pusat pendidikan serdadu Belanda.
Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta hanya memiliki gelar semata karena semuanya
dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Akibat tidak ada sandaran kekuatan,
akhirnya kaum Muslim ditindas, miskin, kelaparan, dan berbagai wabah penyakit
menimpa. Kondisi itulah yang terjadi pada masyarakat Indonesia (pra merdeka) akibat diberlakukannya
sistem Tanam Paksa yang berlangsung selama 93 tahun (1245-1338 H/1830-1919 M).
Pada masa itu, pihak kolonial Belanda memaksa orang-orang kecil/pribumi melaksanakan
Tanam Paksa di wilayah bersawah, ladang tebu, dan hutan jati. Mereka dipaksa kerja di bawah
ancaman peluru,
cambuk, dan siksaan lainnya. Tidak sedikit yang menjadi korban. Setiap hari ada saja orang
yang mati, terutama orang tua. Dampaknya, jumlah anak yatim piatu semakin banyak.
Tanah dan ladang mereka disita dan dimiliki oleh investor dengan bantuan penguasa Pribumi.
Mereka juga dibebani dengan berbagai pajak yang wajib dibayarkan kepada para Boepati untuk
diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Kondisi memprihatinkan ini terjadi karena mereka tidak
memiliki pelindung karena penguasa Pribumi, dari Loerah hingga Boepati, dan penguasa asing, bertindak
sebagai penindas dan koruptor. Bahkan, bangsawan kalangan istana ketika itu tidak lagi memedulikan
rakyatnya. Mereka sibuk dengan memperbanyak jumlah istri atau gundik dan senang mengisap candu.
Sedangkan rakyatnya, hidup menderita. Semakin memburuklah kondisi masyarakat saat itu.
Keterpurukan kehidupan ekonomi di Surakarta, Jogyakarta, dan Semarang tambah parah dengan
adanya huru hara anti-Cina pada Juli 1912. Pemerintah kolonial Belanda menuduh Sjarikat Dagang Islam
sebagai dalang huru hara anti-Cina. Sjarikat Dagang Islam Hadji Samanhoedi kemudian dikenai schorsing
pada Agustus 1912 M. Akibat tidak menerima schorsing tersebut, massa buruh Sjarikat Islam menjawab
dengan pemogokan di Surakarta.
Kondisi memperihatinkan dan carut-marut ini kemudian mengilhami KH.Ahmad Dahlan
(1285-1342 H/1868 -1923 M) mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912,
Senin Legi, 7 Dzulhijjah 1330 H. Dahlan terpanggil hatinya menjawab tantangan kemiskinan struktural
masyarakat Muslim korban penindasan sistem.
Tanam Paksa. Dengan merujuk pada surah Al-Maun (QS107: 1-7) berusaha membangkitkan kesadaran
solidaritas kaum Muslim terhadap sesama Muslim yang menderita, terutama anak-anak yang fakir
miskin dan yatim piatu dengan melakukan pembangunan Panti Yatim Piatu.
Selanjutnya membentuk Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (MPKO) pada 1336 H/1918 M.
untuk mengurus kaum dhu`afa.
Muhammadiyah juga membangkitkan kesadaran wanita membentuk organisasi kewanitaan berbama
Sopotrisno diprakarsai Nyi Ahmad Dahlan. Atas usul Hadji Mochtar, nama Sopotrisno diubah menjadi
Aisyiah pada 28 Jumadil Akhir 1335 H./21 April 1917 M. Satu tahun kemudian membentuk organisasi
untuk pembinaan gadis-gadis yang diberi nama Siswa Pradja Wanita pada 1336 H/1918 M. dan diganti
nama menjadi Nasji’atoel Aisyiah pada 1348 H/1929 M. Kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang
memiliki ciri khas pengajaran agama dan umum.
Demikian penjelasan Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku “Api Sejarah” halaman 419-440.
Dalam buku yang diterbitkan Salamadani, 2009, ini Ahmad Mansur menguraikan bahwa strategi
dakwah Muhammadiyah cenderung akomodatif dengan budaya lokal.
Hal ini terlihat dari beberapa tokoh Muhammadiyah pada masa awal yang tidak melepaskan
atribut kejawaan, seperti blankon, batik, dan mengenakan sarung
Pemahaman keagamaan Muhammadiyah, khususnya KH.Ahmad Dahlan diakui pula oleh dosen
luarbiasa jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN SGD Bandung ini dipengaruhi pembaru Islam:
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan paham Wahabiyah.
Pengaruh ini tertanam saat Ahmad Dahlan ke Mekkah untuk menunaikan haji dan belajar
ilmu-ilmu agama.
Awalnya memang membangkitkan kesadaran dan solidaritas sosial, tetapi kemudian melihat realitas
masyarakat Islam yang jauh dari ajaran Islam dan berkecenderungan pada kebatinan;
Muhammadiyah mencoba meluruskannya. Wajar jika kemudian Muhammadiyah berwajah puritan
dalam dakwahnya.Mungkin sudah menjadi sunatullah bahwa Muhammadiyah kemudian hari,
hingga sekarang banyak mengalami perubahan.
Bagaimanakah perubahan dan perkembangannya serta kontribusinya bagi umat Islam Indonesia?
Mau tahu? Baca deh buku “Api Sejarah”. Insya Allah tercerahkan!